Senin, 14 November 2011

LATAR BELAKANG SEJARAH KABUPATEN LAMONGAN.

Kesejarahan Kabupaten Lamongan dibanding dengan beberapa wilayah Kabupaten Lainnya di Jawa Timur, nama Lamongan seolah tenggelam dalam khasanah kesejarahan yang beredar di masyarakat Indonesia pada umum. Beberapa daerah kabupaten lain di sekitar Lamongan mungkin sangat dikenal oleh banyak orang dari aspek kesejarahan wilayahnya, kita ambil contoh Mojokerto dengan kerajaan Majapahit-nya, Kabupaten Tuban dengan sejarah adipati Ranggalawe-nya yang juga terkenal pada era pemerintahan kerajaan Majapahit. Sejarah tidak banyak mencatat tentang keberadaan Kabupaten/wilayah Lamongan segamblang Kadipaten atau Kerajaan Tuban terlebih bila dibandingkan dengan Majapahit.
Berikut ini merupakan sekilas penggalan sejarah Kabupaten Lamongan yang telah berhasil dihimpun oleh Pemerintah Daerah Lamongan dan juga beberapa sumber lain yang saling menguatkan terhadap kesejarahan tersebut.
I. Kurun Pra-Sejarah
Wilayah kabupaten Lamongan sebenarnya sudah dihuni oleh manusia semenjak jaman sebelum masehi, hal ini berdasarkan temuan benda-benda kuno berupa kapak corang, candrasa, dan gelang-gelang (perhiasan) kuno di sekitar Desa Mantup Kecamatan Mantup. Beberapa penemuan lain berupa Nekara dari perunggu yang ditemukan di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring. Benda-benda tersebut menurut periodesasi prasejarah termasuk dalam masa perundagian di Indonesia yang berkembang semenjak lebih kurang 300 SM.
Bukti-bukti lain yang memperkuat bahwa wilayah Lamongan telah dihuni manusia pada prasejarah ialah ditemukannya kerangka manusia, dan manik-manik kaca, lempengan emas, kalung-kalung emas, benda-benda besi, gerabah, tulang binatang dan lain-lain juga di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring. Sistem penguburan dengan menggunakan nekara sebagai wadah jasad manusia dan benda-benda milik si mati, berlaku pada masa perundagian. Kapak corong dan candrasa saat ini disimpan di Museum Mpu Tantular Surabaya di bawah no.4437 dan 4438, begitu juga dengan nekara.
II. Masa Perkembangan Hindu
Pengaruh agama dan kebudayaan hindu di wilayah Lamongan agaknya cukup luas, hal ini terbukti dengan ditemukannya arca dan lingga -yoni. Arca yang ditemukan di wilayah Lamongan sebanyak 7 buah, tersebar di wilayah kecamatan Lamongan, Paciran, Modo, Sambeng, dan Kembangbahu. Sedangkan lingga dan yoni ditemukan di 3 wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Ngimbang, Kembangbahu dan Sugio.
Hingga sekarang belum dapat dipastikan sejak kapan pengaruh agama dan kebudayaan hindu tersebut mulai masuk dalam kehidupan masyarakat di wilayah Lamongan, namun munculnya nama wilayah ini dalam panggung sejarah majapahit hingga arti penting wilayah ini bagi kerajaan majapahit adalah pada akhir abad XIV. Peranan wilayah Lamongan dalam Pemerintahan Majapahit ini dapat diketahui dengan ditemukannya 43 buah prasasti peninggalan Majapahit di wilayah Lamongan.
Menilik dari sebaran prasasti yang ada di wilayah Lamongan, dapat dipastikan bahwa eksistensi masyarakat Lamongan dalam bidang politik dan keagamaan disamping merata, juga kuat. Sebaran prasasti itu terdapat di wilayah-wilayah kecamatan meliputi Kecamatan Lamongan sebanyak 2 buah, Mantup 2 buah, Modo 7 buah, Ngimbang 8 buah, Sambeng 9 buah, Bluluk 6 buah, Sugio 2 buah, Deket 1 buah, Turi 1 buah, Sukodadi 1 buah, Babat 1 Buah, Brondong 1 buah, Paciran 2 buah.
Dari 43 buah prasasti tersebut, 39 buah diguris di atas batu dan 4 lainya diguris diatas lempengan tembaga, yang dikenal dengan Pasasti Biluluk I,II,III, dan IV yang saat ini disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode E.97 a-d. Prasasti ini berasal dari zaman Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dan Wikramawhardana (1389-1429). Prasasti tersebut ditulis dalam huruf jawa kuno dan telah di transkrip oleh Dr. Callenfels dalam OV.1917,1918, dan 1919. H.M Yamin memuat kembali transkrip itu dengan sari terjemahannya kedalam bahasa Indonesia dalam bukunya Tata Negara Majapahit Parwa II . Museum Nasional menyalin kembali dalam buku Prasasti Koleksi Museum Nasional I, dan Pigeaud membahasnya secara mendalam pada bab tersendiri dalam bukunya Java in the 14th Century.
Dari banyaknya prasasti yang ditemukan, diperoleh petunjuk yang kuat bahwa wilayah lamongan merupakan wilayah yang cukup berarti bagi pemerintahan kerajaan majapahit, secara kebudayaan dan agama. Petunjuk lain kyang dapat diperoleh ialah bahwa perhubungan antara pusat wilayah kerajaan dengan wilayah Lamongan sudah cukup ramai.
Prasasti biluluk I-IV yang berangka tahun 1288 – 1317 Saka atau tahun 1366-1395 M merupakan suarat atau titah raja yang diturunkan dan tujukan kepada kepada keluarga kerajaan yang memerintah di biluluk dan Tanggulunan.
Isi prasasti itu antara lain;
1. Orang biluluk diberi wewenang untuk menimba air garam pada saat upacara pemujaan sekali setahun, sebagaimana yang telah mereka miliki sejak dulu asal tidak diperdagangkan. Apabila diperdagangkan akan dikenakan cukai.
2. Rakyat biluluk dan tanggulunan memperoleh perlindungan dan restu raja, sehingga siapa saja yang merugikan mereka akan terkena supata atau kutukan yakni akan menderita kecelakaan, seperti antara lain; apabila mereka berada dipadang tegalan akan digigit ular berbisa, apabila masuk hutan akan diterkam harimau, apabila masuk rumah akan diselubungi dan dimakan api, dimana saja akan sengsara, celaka dan mati.
3. Memberi kebebasan kepada rakyat biluluk untuk melakukan berbagai pekerjaan seperti ; berdagang , membuat arak, memotong, mencuci, mewarna, memutar (menurut pigeaud, membuat tepung, gula aren, atau tebu), dan membakar kapur tanpa dipungut pajak.
4. Status daerah perdikan biluluk dan tanggulunan ditingkatkan dari daerah shima menjjadi daerah swatantra, sebagai daerah swatantra atau otonom dan rakyat yang dicintai oleh raja, mereka bebas dari kewajiban membayar upeti dan memberi jamuan makan seerta bekal kepada para petugas kerajaan yang sedang lewat atau singgah. Mereka juga dibebaskan membayar berbagai macam cukai, seperti perkawinan, dukun bayi, pembakaran jenazah, upacara kematian (nyadran), angkutan, pendirian rumah, pertunjukan, penitipan barang dagangan berupa cabai kemukus, kapulaga, besi, kuali besi, pinggan rotan dan kapas.
5. Petunjuk bahwa daerah bluluk dan tanggulunan diberi status swatantra, agar tidak dikuasai oleh sang katrini (pejabat tinggi negara), melainkan mempunyai kekuasaan terhadap tukang dan pegawai dengan hak-hak pengaturan perekonomian, keamanan dan ketentraman.
6. Kegiatan perekonomian diwilayah kerajaan majapahit umumnya di biluluk dan tanggulunan khususnya sangat penting artinya bagi negara dan penduduk sendiri. Komoditi perdagangan dari biluluk yang menonjol adalah; garam gula kelapa atau aren, dan daging dendeng. Dendeng pada masa itu tergolong makanan mewah dan komoditas dagangan yang mahal. Bagi rakyat biluluk sendiri, perdagangan dendeng sangat menguntungkan. Usaha yang juga berkembang di biluluk ialah pencelupan atau pewarnaan kain, penggilingan beras atau tepung, dan bahan-bahan makanan dari tepung umbi atau kentang.
7. Setiap tahun diselenggarakan keramaian atau pasar tahunan yang berfungsi sebagai promosi berbagai macam barang dagangan.
Menelaah prasasti Biluluk dan memperhatikan persebaran banda peninggalan purbakala di wilayah lamongan sekarang, kata biluluk secara pasti dapat diidentifikasi dengan Bluluk sekarang. Kata tangulunan agaknya tidak lain adalah Tenggulun yang sekarang menjadi sebuah desa diwilayah Kecamatan Paciran berbatasan dengan Kecamatan Laren. Desa ini dalam buku Sejarah Brigade Ronggolawe disebut sebagai desa trenggulunan. Sedangkan kata pepadang agaknya tidak berada dalam wilayah Lamongan, mungkin sekarang Desa Padang di wilayah kecamatan Trucuk, Bojonegoro, yakni sebuah desa di tepian bengawan solo sebelah barat kota Bojonegoro atau mungkin Kecmatan Padangan dekat kota Cepu sekarang.
Dengan demikian wilayah Lamongan pada waktu itu terbagi kedalam dua daerah swatantra atau daerah otonom, yaitu Bluluk dibagian selatan dan barat dan Tanggulunan dibagian utara dan timur wilayah Lamongan sekarang. Tentang adanya wilayah kekuasaan lebih dari satu di Lamongan, juga diperoleh informasi dari de Graaf dan Pigeaud, bahwa pada tahun 1541 dan 1542 Demak mengalahkan para penguasa di Lamongan (zouden de heersers Lamongan).
Tentang hubungan prasasti tersebut dengan Majapahit disebutkan dalam prasasti Biluluk I, yaitu “makanguni kang adapur ing majapahit, siwihos kuneng yan hanang rubuhakna wangsyaningon kang biluluk, kang tanggulunan amangguha papa,…..”, artinya “pertama sekali kepada dapur majapahit, tetapi sekiranya ada yang merugikan rakyatku di Biluluk dan Tanggulunan, maka mereka itu akan menderita kecelakaan……” Kata adapur menurut pigeaud adalah kelompok pembuat garam. Kelompok pembuat garam ini di Majapahit mendapat pujian dan penghargaan. Dengan demikian wilayah Bluluk dan Tanggulunan langsung atau tidak langsung berada dalam kekuasaan Majapahit.
Dari isi prasasti juga dapat dimengerti kedudukan Lamongan terhadap Mjapahit, yakni Lamongan termasuk kategori daerah yang strategis dalam politik Majapahit, karena daerah ini merupakan jalur penting menuju dunia luar dengan Tuban (Sedayu) sebagai Pelabuhan utama. Karena pentingnya itu, maka daerah-daerah tersebut diberi hak otonomi yang luas dengan hak-hak istimewa yang menyangkut kewenangan mengatur perangkat pemerintahan, masyarakat, perpajakan, dan perekonomian atau perdagangan. Disamping itu kedua daerah otonom itu memperoleh perlindungan yang memadai dari pemerintahan kerajaan Majapahit. Untuk memantapkan kekuasaan penguasa dan rakyatnya, maka kedua daerah tersebut dipercayakan dan dikuasakan kepada paman raja hayam wuruk sendiri yang bernama Sri Paduka Bathara Parameswara.
Dalam hubunganya dengan kegiatan perekonomian dan perdagangan, Lamongan (Biluluk dan Tanggulunan) agaknya menempati posisi cukup penting, karena jalur utama antara pusat kerajaan Majapahit dengan palabuhan dagang Tuban harus lewat daerah ini. Jalur perdagangan itu diperkirakan melalui Mojokerto ke utara lewat Kemlagi, terus ke pamotan – Wateswinangun-Lamongrejo- Ngimbang- Bluluk- Modo-Babat-Pucuk-Pringgoboyo-Laren-terus ke Tuban. Dari Tanggulunan ke pusat kerajaan agaknya juga lewat pringoboyo dengan terlebih dahulu menyusuri Bengawan solo.
Desa Pringgoboyo, berdasarkan temuan batu bata kuno, diperkirakan sudah menjadi tempat yang ramai dan menjadi pos penjagaan kerajaan baik untuk kepentingan keamanan pusat kerajaan, maupun untuk kepentingan perbendaharaan kerajaan, yakni tempat memeungut cukai barang dagangan yang melewati jalur tersebut (bengawan solo).
Daerah Biluluk dan Tanggulunan diatas merupakan daearah penghasil daging yang dikeringkan (dendeng) dan juga Kerajinan tangan, disamping komoditi ekspor garam, gula aren dan merica.
Dalam hubunganya dengan kepercayaan keagamaan, berdasarkan temuan arca-arca syiwa yang tersebar di wilayah Lamongan, kiranya kebanyakan masyarakat Lamongan waktu itu beragama hindu aliran syiwa. Betapa agama ini telah demikian dalam dan luas pengaruhnya kedalam kehidupan dan budaya masyarakat Lamongan, dapat dilihat misalnya bentuk bangunan gapura yang berbentuk candi bentar dikompleks masjid sendang dhuwur. Kompleks masjid dan makam dengan gapura tersebut didirikan disuatu bukit yang disebut gunung Amintuno (Gunung pembakaran).
Tentang pengaruh agama budha di Lamongan agaknya juga ada. Sekalipun tidak ada bukti peninggalan sejarah seperti arca budha dan lainya, tetapi dari penuturan orang-orang tua didesa-desa bahwa agama orang zaman dulu itu agama budha dan zamanya bukan zaman hindu, melainkan zaman kabudhan. Kecuali yang sudah pernah bersekolah dan belajar sejarah, umumnya mereka tidak pernah menyebut-nyebut agama Hindu atau Zaman Hindu.

FAKTA ARKEOLOGIS LAMONGAN IBU KOTA KERAJAAN AIRLANGGA

Sejumlah fakta arkeologis yang bisa membuktikan Lamongan sebagai salah satu ibu kota Kerajaan Airlangga (Kahuripan) kemarin dipaparkan beberapa akademisi pengetahuan budaya dan LSM di Ruang Sabha Dyaksa Lamongan. Meski demikian masih terdapat sejumlah ketidaksepakatan detail fakta dari paparan mereka.

Hasil pemetaan dan penelusuran jejak situs dan prasasti Airlangga di Lamongan tersebut dibuka Bupati Fadeli. Hadir sebagai pemateri adalah Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti, keduanya dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Juga Ketua Lembaga Studi dan Advokasi untuk Pembaruan Sosial (LSAPS) Supriyo.

Supriyo dalam kesimpulannya menyampaikan banyak jejak arkeologi berupa prasasti tersebar di Lamongan. Sehingga Lamongan berpotensi untuk menjadi rujukan utama penggalian sejarah Kerajaan Airlangga. “Kemungkinan besar mampu membuktikan sebagai salah satu ibu kota Kerajaan Airlangga. Itu berdasarkan fakta arkeologis yang ada. Yakni Prasasti Pamwatan tahun 1042 masehi dan Prasasti Terep tahun 1032 masehi, “ ungkap dia.

Disebutkan olehnya, dari hasil penelusuran LSAPS di lapangan, terdapat 30 prasasti di Lamongan. Banyak prasasti itu sekarang hilang. Diantaranya Prasasti Pamwatan, Garung dan Prasasti Candisari. Ditambah lagi sebagian besar prasasti yang ada dalam kondisi memprihatinkan. “Sehingga Pemda diharapkan pro aktif melakukan perlindungan benda cagar budaya sebelum sejarah besar Lamongan lenyap tinggal cerita, “ katanya.

Lebih lanjut, Agus dan Ninie sepakat bahwa Lamongan adalah lokasi salah satu ibu kota Kerajaan Airlangga. Sejumlah fakta memang menunjukkan Keraton Airlangga berpindah-pindah karena diperkirakan kondisi politiknya yang belum stabil. Sampai saat ini, Keraton Airlangga baik di Wwatan Mas, Kahuripan dan Dahanapura belum dapat diketahui lokasinya secara pasti.

Agus cenderung sepakat dengan asumsi bahwa keraton pertama Airlangga, yaitu Wwatan Mas terdapat di wilayah Lamongan. Sementara keratin terakhirnya, Dahanapura disamakan dengan Daha, ibu kota wilayah Panjalu (saat ini Kediri). “Fakta yang ada tipis untuk menunjukkan bahwa Wwatan Mas berlokasi di utara Gunung Penanggungan. Justru dari Prasasti Wotan yang ada di Dusun Wotan/Lamongan, kemungkinan besar Wwatan Mas Airlangga berada di Lamongan. Banyak laporan yang menyebutkan serinngkali ditemukan artefak emas, arca, kertas emas tipis dan perhiasan di sekitar Dusun Wotan, “ ungkap dia.

Sementara Ninie justru menyebutkan konsentrasi temuan prasasti setelah 964 saka (Prasasti Pamwatan) yang isinya menyiratkan keraton baru Airlangga, Dahana Pura, berada di wilayah Kabupaten Lamongan. Yaitu terbanyak ditemukan di wilayah Kecamatan Sambeng dan Ngimbang. Berdasar analisis distribusional prasasti, dia percaya Kerajaan Airlangga mula-mula berada di sekitar Surabaya, kemudian berpindah ke wilayah lebih pedalaman di daerah aliran Sungai Brantas dan Bengawan Solo akibat serangan musuh.

“Sebagian besar prasasti di Lamongan ditemukan dalam kondisi sudah sangat aus, sehingga sebagian prasasti batu yang ada di Lamongan tidak dapat diketahui kronologi waktunya. Namun beradasar analisis paleografi, aksaranya diketahui dari masa pemerintahan Raja Airlangga, “ papar dia.

Fakta lain di paparkan Supriyo terkait dengan kelahiran Lamongan. Setelah kemunduran Majapahit yang juga berimbas pada kemunduran Perdikan Biluluk di Lamongan Selatan, wilayah utara Lamongan justru berkembang dengan lahirnya perdikan-perdikan Islam. Seperti Perdikan Sedayu, Drajat dan Sedang Dhuwur.

Perdikan Drajat pada tahun 1475 atau 1553 M dipimpin oleh Sunan Drajat, keturuna Sunan Ampel. Sementara Perdikan Sendang Dhuwur pada tahun 1483/1561 M dipimpin Sunan Sendang atau Raden Rahmat.

Kemudian di periode yang sama, di wilayah tengah, di Tumenggungan yang sekarang masuk wilayah Kota Lamongan berkembang pemerintahan di bawah kendali Rangga Hadi dengan gelar Tumenggung Surajaya tahun 1569-1607 M. Wilayah ini masuk kendali Kasultanan Giri. Pengangkatan Rangga Hadi inilah yang sampai sekarang dijadikan dasar penentuan Hari Jadi Lamongan.

Sebaran Prasasti Dan Situs Kuno Di Wilayah Lamongan

Dalam verifikasi sumber data yang tertulis, banyak ditemukan ketidaksinkronan dengan kenyataan di lapangan. Beberapa data terdahulu, diantaranya data yang dilansir oleh Bapak Atmadi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1984. Semua data mengenai benda kuno terutama yang terbuat dari batu, seperti lumpang kuno, yoni, prasasti, situs dan lainnya, semuanya di identifikasi sebagai prasasti. Hal ini sedikit membuat kebingungan saat data tersebut di chek ke lapangan.
Data selanjutnya bersumber dari catatan dinas kebudayaan dan pariwisata, data ini juga tidak diterbitkan dan hanya sekedar menjadi catatan dan laporan internal dinas. Dalam data ini juga merujuk dari data Pak Atmadi, sehingga juga terdapat beberapa data yang belum terverifikasi. Hasil Laporan kegiatan registrasi dan informasi oleh suaka peninggalan sejarah dan purbakala di Kabupaten Lamongan (SPSP – Jawa Timur) Nopember 1987 dan tahun 2002. Dan juga hasil pendataan dan penelusuran tim LSAPS yang di lakukan 1 tahun sebelumnya.
Keberadaan prasasti sebagai sumber primer sangat berperan mengungkap segala bentuk peristiwa dan kejadian bersejarah di wilayah Lamongan. Keberadaan prasasti dalam hasil penelusuran Tim LSAPS dapat digambarkan sebagai berikut;
Prasasti di Kecamatan Sambeng, diantaranya:
1. Prasasti Pamwatan
Prasasti Pamwatan dikeluarkan oleh raja Airlangga melalui Mahamantri I Hino Sri Samarawijaya. Dikeluarkan pada tahun 964 C / 1042 M dan bahan batu andesit. Menurut beberapa penelitian arkeologi yang pernah dilakukan terhadap prasasti tersebut sebelum hilang, menyebutkan tentang bagian atas prasasti yang bertuliskan kata DAHANA(PURA) dalam aksara kwadrat Kediri. Sehingga muncul analisa yang memperkirakan jika wilayah Pamotan dan sekitarnya adalah pusat Kota Dahanapura yang merupakan ibukota kerajaan Airlangga di akhir masa Pemerintahannya 964 C / 1042 M .
Peninjauan di lokasi sekitar prasasti pada area/radius sekitar 1 KM juga menunjukkan adanya pecahan artefak-artefak kuno dan serakan batu bata kuno berukuran besar, terutama disekitar pekuburan yang terletak 200-300 m di sebelah utara lokasi prasasti.
Ditinjau dari letaknya, prasasti ini berada di sebelah selatan kali lamong yang di perkirakan sebagai batas dari kerajaan panjalu dan jenggala. Prasasti ini jika kita hubungkan dengan letak prasasti pucangan (Calcutta) yang berada di puncak bukit pucangan akan bertemu pada posisi garis lurus, sehingga dimungkinkan terdapat akses jalan kuno yang besar antara pamotan dan gunung pucangan pada masa itu.
2. Prasasti Nagajatisari
Prasasti Nagajatisari berada di Dusun Nogojatisari berbahan batu putih, tinggi 165 cm, lebar 60 cm, ketebalan 20 cm, dan menggunakan huruf Jawa Kuno. Posisi prasasti di tengah hutan jati milik perhutani yang jauh dari pemukiman penduduk. Disekitar prasasti ini dibangun sebuah cungkup yang cukup megah dengan dana secara swadaya, bagian bawah prasasti sebenarnya masih bisa terbaca, namun karena bagian dasar prasasti yang sudah dibangun sedemikian rupa maka pembacaan/pembuatan abklats pada prasasti sulit dilakukan. Kondisi prasasti ini relatif lebih aman dibanding dengan prasasti lainnya di Lamongan, meski berada di tengah hutan, keberadaan cungkup yang terbuat dari beton dan adanya juru kunci di bangunan cungkup membuat prasasti ini sangat terawat.
Prasasti ini ditengarai sebagai prasasti Airlangga menilik dari jenis hurufnya. Sayang hingga sekarang belum diketahui tentang isi prasasti Nagajatisari, dan kepada siapa prasasti ini diberikan.
3. Prasasti lawan
Prasasti ini terletak di dusun Lawan, desa Kedungwangi Kec. Sambeng. Kondisi prasasti sudah sama sekali tidak terlihat tulisannya meski relative terawat dan terdapat cungkup yang melindungi sejak lama.
Letak prasasti ini pun cukup muda untuk ditemui yaitu di sebelah kiri gapura masuk dusun lawan dan di depan bangunan rumah jaman belanda milik mantan kepala desa setempat. Mengingat letaknya yang strategis maka keberadaan prasasti ini cukup aman.
Catatan pertama mengenai prasasti ini dapat ditemui dalam data registrasi Belanda pada tahun 1907 wilayah Residen Surabaya. Data registrasi ini mencatat ketinggian prasasti lengkap dengan bantalan pada masana 164 cm, tinggi tanpa padmasana 140 cm, lebar bagian atas 110 cm, lebar bawah 90 cm dan memiliki ketebalan 12,5 cm. Sementara berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh tim LSAPS, diperoleh hasil yang berbeda, yakni; tinggi 165 cm, lebar 60 cm, tinggi 20 cm, dan menggunakan huruf Jawa Kuno.
Prasasti Lawan ini ternyata pernah di transkrip oleh Brandes dalam OJO CXIII, namun yang terbaca dari prasasti ini hanya pada bagian sapattha (sumpah) bagi siapapun yang melanggar aturan dalam prasasti (detail transkrip dalam lampiran).
Prasasti ini dianugerahkan oleh seorang Raja yang menyebut dirinya Ҫri Paduka Mpungku, melalui seorang Mahamantri I Hino yang tidak terbaca siapa mahamantri yang dimaksudkan karena pada bagian nama mahamantri aksara pada prasasti ini telah rusak. Siapa raja yang dimaksud yang bergelar Ҫri Paduka Mpungku juga belum diketahui secara pasti. Namun sebagian besar dari arkeolog berpendapat bahwa nama tersebut adalah sebutan untuk Raja Airlangga. Disamping penggunaan kaligrafi aksara pada prasasti yang juga mengindikasikan sebagai prasasti Raja Airlangga.
Isi prasasti dimungkinkan tentang ketetapan tanah sima kepada penduduk Desa Lawan, namun alasan penetapan sama sekali tidak diketahui.
4. Prasasti Garung
Prasasti ini dalam keadaan hancur dan tergeletak di tepi sungai dipinggir Desa. Batu prasasti ini sebenarnya berukuran besar (lihat foto) dengan tinggi lebih dari 120 cm, lebar sekitar 100 cm lebih, dan berbahan batu andesit sementara penggunaan huruf tidak diketahui. Perkiraan ini dibuat mengingat keadaan medan yang tidak memungkinkan pengukuran dilakukan secara akurat. Menurut penduduk sekitar sebelumnya juga terdapat Lapak persegi lima, yang dimungkinkan sebagai lapak Prasasti dan masih menyisakan aksara. Sayang lapak tersebut juga sekarang tidak diketahui lagi keberadaanya.
Hampir tidak ada catatan pendukung apapun dari prasasti ini selain dari catatan pak Atmadi (P&K) yang menginformasikan bahwa ada sebuah prasasti yang terletak di Desa Garung. Beberapa pencarian keberadaan prasasti ini sebelumnya (setahun lalu) juga tidak membuahkan hasil. Baru pada penelusuran sekarang atas informasi dari Bapak Samsuri dari Desa Lawan maka tim dapat menemui keberadaan prasasti ini. Dan dari ciri fisiknya maka dapat dikenali bahwa batu besar yang tergeletak ditepi sungai ini adalah sebuah prasasti.
Bagian yang berbentuk segitiga dapat dikenali sebagai bagian atas prasasti meski tidak utuh, dengan perkiraan ketinggian sekitar 150 cm lebih. Dan lebar sekitar 90 cm, sementara tebal dari pasasti sekitar 30 cm dengan sisi yang membulat. Pemeriksaan pada bagian yang terlihat hampir mulus tanpa bekas tulisan, sementara sisi dibaliknya tidak dapat diketahui.
5. Prasasti Patakan
Prasasti ini sudah sejak lama berada di museum Nasional Jakarta dan hampir tidak diketahui asal persis prasasti ini, hanya di tuliskan bahwa prasasti ini berasal dari daerah disekitar Surabaya. Prasasti ini berbahan batu andesit, tinggi 104 cm, lebar atas 90 cm, lebar bawah 80 cm, tebal 24 cm, dan menggunakan huruf Jawa Kuno. Dari nama prasasti “PATAKAN” yang identik dengan nama desa Pata’an sekarang maka tim berusaha mendapatkan informasi seputar keberadaan prasasti patakan dan hasil transkrip prasasti tersebut yang kebetulan sudah pernah dilakukan oleh Brandes. Pembahasan terhadap isi prasasti tersebut juga sangat marak dalam dunia arkeologi dan sejarah.
Disebutkan bahwa prasasti ini berisi tentang penetapan tanah sima di desa Patakan sebagai kompensasi atas kewajiban bagi penduduk desa patakan untuk memelihara bangunan suci yang bernama Sang Hyang Patahunan.
Dalam OJO LIX juga tidak terdapat penjelasan sejak kapan prasasti ini diangkut ke Jakarta. Dalam data register tahun 1907 yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, juga tidak terdapat laporan mengenai prasasti ini. Sangat mungkin jika prasasti ini sudah berada di Jakarta jauh sebelum tahun tersebut.
Keberadaan bangunan suci yang dimaksudkan dalam prasasti tersebut menjadi rujukan bagi tim untuk menelisik lebih jauh daerah di sekitar Desa Patakan. Dan sebuah reruntuhan yang disebut oleh penduduk sekitar sebagai candi yang terdapat di tengah lahan perhutani nampaknya bisa memberi jawaban terhadap isi prasasti tersebut. Dilokasi sekitar juga banyak ditemukan struktur batu bata kuno berukuran besar.
1. Prasasti Sumbersari I dan Prasasti Sumbersari 2
Berdasarkan hasil pelusuran, prasasti Sumbersi I berada di Dusun Sempur, desa Sumbersari berbahan batu putih dengan ketinggian 144 cm, lebar atas 79 cm, ketebalan 30 cm, dan titik koordinat 07 17’16,8” dan 112 13’57,7. Sementara Prasasti Sumbersari 2 berada di Desa Sumbersari berbahan batu putih dengan ketinggian 80 cm, lebar bawah 60 cm, dan dengan ketebalan 24 cm. Kondisi permukaan prasasti sudah aus dan hampir tidak ditemui jejak tulisan maupun aksara dalam tubuh prasasti. Ada kemungkinan juga bahwa batu ini baru merupakan sebuah bakalan prasasti. Prasasti ini juga pecah pada bagian tengahnya tetapi masih tersambung tepat.
Persebaran prasasti di Kecamatan Ngimbang, antara lain;
1. Prasasti Sendangrejo
Prasasti ini terletak di hutan jati sekitar dukuh titing Desa Sendang Rejo, Kecamatan Ngimbang, jauhnya hanya sekitar 60 meter dari jalan yang melintas hutan jati tersebut. Bentuk prasastinya agak kaku, bagian atas berbentuk segitiga. Bahannya dari batu putih keras dengan ketinggian 140 cm, tinggi sisi 104 cm, lebar atas 90 cm, lebar bawah 80 cm, dan ketebalan 24 cm sementara penulisannya menggunakan aksara Jawa Kuno.
Kondisi prasasti ini sekarang sudah hampir tak terlihat lagi jejak tulisan dalam prasasti ini. Namun dalam berita penelitian arkeologi sebelumnya, No.47 yang dikeluarkan oleh Puslitarkenas. Disebutkan bahwa masih terdapat jejak tulisan tipis yang terdapat pada keempat sisi prasasti, disisi depan ada 22 baris , sisi belakang aus sama sekali, di sisi C asa 14 baris dan disisi D juga ada 14 baris . aksara dan bahasa jawa kuno. Tulisan yang dapat terbaca menyebutkan nama Airlangga, nama I Hino Sanggarama-Wijaya dan memuat angka 965 saka atau 1043 M.
Menurut pembacaan Brandes, prasasti ini diturunkan kepada penduduk Desa Patakan karena telah berjasa kepada Raja Airlangga, namun jasa apakah yang dimaksudkan dalam prasasti tersebut tidak diketahui.
Persebaran prasasti di kecamatan Ngimbang diantaranya;
1. Prasasti Sendang Gede Ngimbang
Prasasti ini ada di desa ngimbang, kecamatan ngimbang: sebagian batunya terbenam. Bagian yang tampak setinggi 102 cm, lebar 98 cm, tebal 21 cm, dan bahan dari batu putih. Disisi depan tampak tulisan sebanyak 26 baris, disisi belakang juga data tulisan sebnyak 26 baris sedangkan disudut C dan D tidak tampak tulisannya. Aksaranya jawa kuno dan tentunya bahasanya jawa kuno ( walaupun tidak terbaca). Bahan bakunya mengandung banyak pasir.
Prasasti ini terletak disebelah timur sendang dan menancap di tanah, bagian bawah tidak diketahui bentuk aslinya, apakah terdapat padmasana ataukah langsung menancap di tanah.
Terlindungi dengan sebuah cungkup yang sederhana dengan bagian atap terbuat dari seng. Dengan kondisi yang kurang terrawat dan rawan dari sisi keamanan.
2. Prasasti Drujugurit
Prasasti Druju Gurit merupakan prasasti yang cukup besar dibanding prasasti lainnya di Lamongan, bahkan bisa dikatakan paling besar untuk prasasti-prasasti di Lamongan.
Bentuk prasasti Druju Gurit yang terdapat di Kecamatan Ngimbang ini seperti prasasti dari sendang Rejo tetapi lebi lebar. Ukuran tingginya 167 cm, labar 122 cm, tebalnya 46 cm, dan bahan batu kapur putih. Kaki prasasti dipahat dari hiasan Padma Ganda. Tulisanya sangat aus, disisi depan ada 26 baris, disisi belakang juga tampak 26 baris sedangkan di sisi C dan D tidak tampak tulisanya.
Bahan batunya mengandung bahan kapur dan sangat rapuh. Dibagian bawah terdapat hiasan padmasana.Prasasti ini juga terletak di sebelah utara sebuah sendang di dusun Gurit, berjarak sekitar 150 meter dari sekitar sendang dusun Gurit. Disekitar lokasi prasasti juga banyak ditemukan fragmen pecahan gerabah dan batubata kuno.
Prasasti ini juga diperkirakan sebagai prasasti peninggalan Raja Airlangga atau generasi penerus Airlangga, mrngingat belum ada penerjemahan terkait isi prasasti dan kepada siapa prasasti ini diberikan. Identifikasi hanya bisa dilakukan terhadap jejak aksara pada prasasti yang sudah sangat aus dan tak dapat lagi di baca.
3. Prasasti Wotan
Prasasti ini ada di Dusun Curing/Wotan, Desa Slahar Wotan, Kecamatan Ngimbang. Tinggi batunya 121.5 cm, lebar 74 cm, tebal 25 cm, berbahan batu putih, dan menggunakan aksara Jawa Kuno. Tulisan yang tampak disisi depan ada 31 baris, disisi belakang ada 30 baris, disisi C 26 baris dan di sisi D ada 21 Baris. Tulisanya sangat aus tetapi bentuk hurufnya serupa dengan prasasti jaman Airlangga.
Belum ada transkrip yang ditemukan terkait prasasti ini dalam beberapa penelitian arkeologi sebelumnya, sehingga belum diketahui isi dari prasasti tersebut, identifikasi hanya bisa dilakukan dari sisi bentuk dan aksara yang digunakan.
Namun demikian indikasi kuat prasasti ini berasal dari zaman Airlangga atau generasi penerus Airlangga, terlihat dari model aksara yang terdapat pada prasasti ini.
4. Prasasti Purwokerto
Prasasti Purwokerto terletak di pematang sawah di dataran yang lebih dari perkampungan, ditemukan dalam keadaan sudah hancur berantakan. Prasasti ini berketinggian 40 cm, lebar 20 cm, ketebalan 20 cm, dan berbahan batu putih. Reruntuhan dari prasasti juga terdapat disekitanya. Hampir tidak ditemukan jejak tulisan apapun pada badan prasasti karena kondisinya yg hancur dan berlumut.
Bentuk awal prasasti ini juga tidak diketahui, termasuk penduduk sekitar juga sudah tidak tahu lagi bentuk semula. Sebagian dari badan prasasti masih menancap di tanah dan tertimbun dengan rerumputan dan tanah pematang, sebagian dari reruntuhannya terdapat di sekeliling. Paling tidak terdapat 4 bongkahan batu pecahan prasasti ini disekitar lokasi tersebut dan terpendam sebagian di dalam lumpur sawah.
5. Prasasti lemahbang
Prasasti ini berdiri di sebelah barat dusun ditengah tanah yang rimbun ditumbuhi pepohonan, terletak pada bagian tanah yg agak tinggi dibandingkan dengan lahan sekitar dan berdekatan dengan tanah pekuburan. di
Prasasti ini berada di Desa lemahbang, kecamatan ngimbang. Bahan batunya banyak mengandung kapur, ukuranya tinggi 104, lebar 74, dan tebal 20 cm, di sisi depan tampak tulisan sebanyak 23 baris, disis belakang ada 26 baris, disisi C ada 23 baris dan disisi D juga da 23 baris dengan aksara Jawa kuno.
Jejak aksara pada prasasti ini relative lebih jelas dibanding seluruh prasasti yang ada di Lamongan. Meski sudah menipis hurufnya, hasil berita laporan penelitian arkeologi No.47 menyebutkan bahwa pada salah satu baris disisi depan terbaca kata “Imah Irah”, artinya sama dengan lemahabang atau tanah merah. Tidak diketahui secara pasti isi keseluruhan prasasti ini, namun banyak ahli epigrafi berpendapat bahwa prasasti ini diperkirakan sebagai prasasti jaman Airlangga.
6. Prasasti Brumbun
Prasasti ini tergeletak/roboh dilahan persawahan milik bapak Salam, warga dusun brumbun Desa Lamongrejo. Bagian atas prasasti berbentuk segitiga dengan puncak lancip. Pada permukaan prasasti terlihat halus dan tulisan pada prasasti tak dapat dikenali lagi. Prasasti ini berketinggian 210 cm, lebar 90 cm, ketebalan 22 cm, dan berbahan andesit
Dilihat dari struktur pada foto diatas, maka terlihat sebuah tonjolan yang berfungsi sebagai akar ketika prasasti ditancapkan, agar tidak terus tertekan kedalam tanah terdapat juga penahan yg lebih tebal dari badan prasasti, seperti sabuk . Tonjolan ini berukuran sekitar 66 cm yang mestinya tertancap kedalam tanah. Kondisi prasasti ini sangat memprihatinkan dan perlu mendapatkan perhatian yang serius karena sangat rawan terhadap pencurian.
7. Prasasti Mendogo
Prasasti ini tertancap di sebuah akar pohon, dengan kondisi pohon menjepit badan prasasti, hanya bagian tas ujung prasasti yang terlihat dengan posisi miring. Sehingga sulit diketahui ukuran pasti badan prasasti, baik lebar, maupun tingginya. Hanya ketebalan saja yg dapat diukur, yaitu sekitar 20 cm.
Jejak tulisan pada prasasti ini juga sangat sulit dikenali mengingat kondisinya berlumut dan sangat aus, ditambah medan yang sangat sulit.
Hampir tidak ada keterangan apapun mengenai prasasti ini, data yang ada hanya sekedar catatan dari dinas setempat. Juga tidak ditemui data pada registrasi maupun penelitian sebelumnya.
Persebarab prasasti di Kecamatan Modo, diantaranya;
1. Prasasti Sedah
Terletak di Dusun Sedah, Desa Pule Kec. Modo. Kondisi prasasti ini sudah sangat aus, sehingga tidak dikenali lagi jejak aksaranya, atau bisa jadi baru sekedar bakalan prasasti. Prasasti ini berketinggian 153 cm, lebar 95 cm, ketebalan 29 cm, dan berbahan batu putih.
Prasasti ini berada disekitar persil perhutani dan berdekatan dengan jalan menuju kec. Modo. Disekitar prasasti berjarak sekitar 200 m, juga terdapat sebuah Punden yang dinamakan Punden Sentono.
Namun demikian tidak diketahui pasti apakah antara batu prasasti dan punden ini apakah saling berhubungan. Tidak ada juga catatan mengenai prasasti ini dari penelitian ataupun register yang pernah dilakukan sebelumnya.
Keadaan prasasti sekarang cukup terlindungi dengan keberadaan sebuah cungkup yang dibuat secara permanen dan berpagar besi disekitar lokasi prasasti.
2. Prasasti sambangan 1
Prasasti yang dikenal dengan prasasti sambangan I ini terletak ditengah-tengah areal persawahan milik Bpk. Parlan, disebelah barat sendang desa, yang terlihat hanya sebagian badan prasasti. Bentuk bagian atas prasasti kurawal (akolade) dengan permukaan yang kasar dan berlubang-lubang. Keadaan tidak terawat, prasasti yang tulisanya tidak terlihat lagi ini berada pada posisi 07° 14’ 42,5” LS dan 112° 07’ 56,5” BT, berketinggian 65 cm, lebar 72 cm, ketebalan 14 cm, dan berbahan bahan putih.
3. Prasasti sambangan 2
Prasasti yang dikenal dengan prasasti sambangan II ini terletak pada pematang sawah milik Bpk. Parlan, ± 50 m arah barat dari prasasti sambangan I, sebagian besar prasasti tertanam di dalam tanah hanya terlihat sebagian, permukaan kasar dan berlubang-lubang sehingga tulisanya sulit dikenali, keadaan tidak terawat. Prasasti ini berada di Dusun Sambangan, Desa Sambangrejo, Kecamatan Modo berketinggian 47 cm, lebar 73 cm, berketebalan 29 cm, berbahan batu putih, dan berada pada titik koordinat 07⁰ 14’ 42,5” LS dan 112⁰ 07’ 56,5” BT.
Persebaran prasasti di kecamatan Mantup, diantaranya:
1. Prasasti Tugu
Prasasti ini terletak di Desa Tugu Kecamatan Mantup, dengan kondisi sekitar tanpa ada pelindung atau cungkup. Menurut penduduk setempat, prasasti ini terletak disebuah tanah punden, ditandai dengan sebuah kuburan disamping prasasti tersebut. Keadaan prasasti sudah sangat aus dan tidak ditemukan jejak tulisan sama sekali, sangat mungkin ini adalah sebuah bakalan prasasti.
Berita register yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1907 juga menyebutkan hal yang sama, bahwa prasasti ini sejak terdata tidak diketahui jejak tulisan pada badan prasasti. Prasasti ini berketinggian 147 cm, lebar 92 cm, berketebalan 22 cm, dan berbahan andesit.
Persebaran prasasti di Kecamatan Brondong, diantaranya:
1. Prasasti Sendangharjo
Prasasti ini terletak di tengah-tengah sebuah pasar Desa, tepatnya di Dusun Wide, Desa Sendangharjo Kec. Brondong.
Dalam beberapa catatan Pemerintah Daerah Lamongan, Prasasti ini sebenarnya dinyatakan telah hilang. Namun sebuah dokumen foto yang sempat diberikan oleh Pak Suyari (Kabid Kebudayaan 2009). Menjadi bekal penelusuran tim LSAPS, dan mendapati prasasti ini bersama seorang warga (P. Turkan).
Prasasti ini sudah sangat aus dan bahkan sangat halus sehingga tidak diketahui lagi jejak tulisannya, kondisinya juga patah terbagi dua. Masing-masing bagian tertancap ditanah dan disemen dengan kuat bersama lantai pasar. Terbuat dari batuan Lokal yang berwarna kuning dan sangat keras.
Posisi prasasti betketebalan 18 cm, Lebar prasasti 110 cm, dengan tinggi masing-masing bagian 45 cm dan 65 cm sementara bahan dari batu kuning. Tidak diketahui literatur terhadap prasasti ini, sehingga tidak dapat diketahui dari peninggalan kerajaan apa dan raja siapa, serta isi prasasti seharusnya.
Persebaran prasasti di Kecamatan Turi, diantaranya:
1. Prasasti Keben.
Prasasti ini terletak di Desa Keben kec. Turi Lamongan, berada disebelah selatan sebuah lapangan bola ditimur Desa. Prasasti ini pernah tercatat dalam register belanda tahun 1907. Dari data register dapat diketahui jika prasasti ini berhuruf jawa kuno, dengan ukuran tinggi 132 cm, lebar 105 cm, dan ketebalan 10 cm.
Mengingat lokasi prasasti ini sekarang berada disebuah genangan air, hingga sekarang belum dapat dilakukan pemotretan, pengukuran dan pemantauan ulang sehingga bentuk fisik prasasti belum dapat ditampilkan. Dalam beberapa data sebelumnya prasasti ini sudah dinyatakan hilang.
Data persebaran lebih lanjut mengenai seluruh prasasti di Lamongan akan di uraikan dalam laporan yang sedang kami susun bersama tim telusur.
Catatan Penutup
Sekitar pantura jawa (Paciran dan Brondong), Bengawan Solo, dan Kali Lamong adalah lahan penelitian arkeologis yang belum banyak di ungkap oleh para arkeolog dan sejarawan. Jika dilihat dari jejak arkeologis yang ada, yakni banyaknya prasasti yang tersebar maka Lamongan berpotensi untuk menjadi rujukan utama dalam penggalian sejarah Kerajaan Airlangga. Kemungkinan besar Lamongan mampu membuktikan sebagai salah satu ibu kota Kerajaan Airlangga (Kahuripan) masa itu, berdasarkan dari fakta arkeologis yang ada (Prasasti Pamwatan 1042M dan Prasasti Terep 1032M).
Berbagai bukti arkeologi yang telah ditemukan berperan mengungkap sejarah panjang Kabupaten Lamongan. Terkait upaya menguak sejarah di Kabupaten Lamongan khususnya masa Raja Airlangga, masih mengalami banyak persoalan yang cukup rumit, karena ketersediaan data yang terbatas maka harus disikapi dengan hati-hati dan cermat dalam memberikan penafsiran maupun interpretasi. Kendati banyak bukti yang ditemukan tetap saja tidak bisa berbuat banyak mengingat tidak semua penemuan bisa diidentifikasi, yang muncul kemudian penggalan-penggalan peristiwa sehingga peristiwa sejarah tidak terbaca secara utuh. Kondisi seperti ini tidak menutup kemungkinan perlu diadakanya penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan hasil penelusuran dilapangan yang telah dilakukan LSAPS ada sekitar 30 prasasti batu, yang tersebar di hampir semua wilayah kecamatan di Kabupaten Lamongan. Sekitar 8-10 diantaranya sekarang hilang (dicuri/tenggelam). diantaranya, prasasti Pamwatan. Prasasti Garung, Prasasti candisari dll. Ditambah lagi dengan kondisi sebagian besar prasasti batu yang memprihatinkan dan sangat butuh perhatian dari berbagai pihak, kecuali prasasti Nogojatisari yang dijaga penuh dan di cungkup-i dengan bangunan permanen. Maka pemerintah daerah diharapkan pro aktif dalam melakukan perlindungan benda cagar budaya sebelum sejarah besar Lamongan lenyap tinggal cerita.
DAFTAR PUSTAKA
Brandes, J.L.A 1913. “Oud-Javaansche Oorkonden. Nagelaten transcripties van wijlen Dr, JLA. Brandes. Uitgegeven door Dr N.J.Kroom” VBG LX.
Coedes, George, 2010, Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, Gramedia, Jakarta.
Damais, L.C 1955. “Estudes d’epigraphie Indonesienne.IV. Discussion de la date des inscriptions”. BEFEO XLVII. Fasc.2.
Soekmono, 1995, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, Kanisius, Yogyakarta
Suhadi, Machi Dkk. Berita penelitian arkeologi No.47, Puslitarkenas, Jakarta.
Susantie, Ninie, 2010, Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI, Komunitas Bambu, Jakarta.
SPSP, 1987, Laporan Kegiatan Registrasi Benda Cagar Budaya di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
SPSP, 2002, Laporan Kegiatan Registrasi Benda Cagar Budaya di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notodusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia I, PN Balai Pustaka, Jakarta

JEJAK RAJA AIRLANGGA DI BUMI LAMONGAN

Tulisan ini sebuah ringkasan, dari rintisan penulis untuk menguraikan jejak-jejak kuno baik berupa prasasti dan juga situs-situs candi yang masih terpendam di bumi Lamongan. Semoga bisa memberikan manfaat bagi seluruh Masyarakat Lamongan khususnya dan semua pihak secara umum.
“Lamongan menyimpan data yang luar biasa mengenai Prabu Airlangga. Airlangga itu raja besar malah lebih besar dari Hayam Wuruk. Dari disertasi saya saja sudah 7 artikel saya buat tentang Airlangga, yang paling lengkap ingin saya sampaikan di Lamongan supaya orang Lamongan bisa bangga dengan leluhurnya”, Dr. Ninie Soesanti arkeolog UI.
Demikian ungkapan Dr. Ninie Soesanti seorang arkeolog UI yang pernah meneliti beberapa prasasti Airlangga di Lamongan. Ungkapan ini disampaikan melalui email saat saya berkomunikasi tentang transkrip beberapa prasasti Airlangga di Lamongan.

yoni
Dari sepintas ungkapan di atas dan didukung dengan fakta arkeologis dilapangan, maka judul tulisan diatas nampaknya tidak berlebihan. Lamongan memang menyimpan banyak data berkaitan dengan masa pemerintahan kerajaan Prabu Airlangga, terutama berupa tulisan diatas batu atau yang biasa disebut dengan prasasti batu. Dari data sementara yang terkumpul paling tidak terdapat 41 prasasti batu yang sebagian besar diperkirakan berasal dari zaman sebelum munculnya Kerajaan Majapahit, namun demikian belum pernah ditemukan adanya keterangan prasasti pada era singasari. Beberapa prasasti seperti prasasti pamwatan (Pamotan), prasasti Pasar Legi (Sendang Rejo, dulunya satu Desa), prasasti Puncakwangi, Prasasti Wotan (Slahar Wotan), dan lainnya jelas teridentifikasi sebagai prasasti-prasasti yang di keluarkan oleh Prabu Airlangga.
Disamping prasasti-prasasti yang tersebut diatas masih banyak jajaran prasasti lainnya yang belum teridentifikasi secara pasti mengenai tahun dikeluarkannya prasasti dan juga kandungan isi dari prasasti tersebut. Yang perlu disayangkan adalah akibat dari kurangnya perhatian berbagai pihak, banyak dari prasasti-prasasti tersebut dalam kondisi yang sangat memprihatinkan karena terkesan tidak ada kepedulian baik dari pihak yang berwenang maupun masyarakat secara umum. Kondisi ini menyebabkan banyak prasasti yang makin rusak bahkan kemudian banyak juga yang hilang dicuri, dirusak orang atau tengelam/terkubur.
Menurut hasil-hasil penelitian para arkeolog sebagian besar prasasti Airlangga banyak ditemukan disekitar Jombang dan Lamongan, membujur dari sekitar Ploso ditepian sungai Brantas, Sambeng, Ngimbang, Modo, dan Babat sekitar Bengawan Solo. Berdasar dari data faktual berupa prasasti tersebut maka tidak heran jika banyak ahli sejarah yang menyimpulkan bahwa pusat kekuasaan Raja Airlangga diperkirakan berada di sekitar Ngimbang. Jika pendapat ini benar maka bisa dipastikan bahwa Lamongan merupakan daerah yang penting semasa Pemerintahan Kerajaan Airlangga. Tidak dapat dinafikan pula bahwa wilayah Lamongan menjadi sentral dalam upaya mengungkap dan mempelajari sejarah kerajaan Airlangga.
Airlangga adalah penerus wangsa isana di jawa timur yang lolos dari bencana pralaya yang meluluh lantakkan istana Mataram kuno masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Peristiwa serangan mendadak yang dilancarkan oleh Raja Wurawari ini terjadi tepat pada saat pesta perkawinan antara Airlangga dan putri Raja Dharmawangsa Teguh sedang berlangsung. Serangan ini banyak menewaskan para pembesar Istana termasuk Raja Dharmawangsa Teguh juga meninggal dalam serangan tersebut dan dicandikan di Wwatan.
Airlangga, yang datang ke Mataram untuk dinikahkan dengan anak Dharmawangsa teguh, adalah anak dari Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, saudara perempuan Dharmawangsa Teguh, dengan Udayana, seorang Raja dari wangsa Warmmadewa Bali. Saat pesta perkawinan berlangsung peristiwa pralaya terjadi ( 1016 M)[1] , Airlangga yang pada saat itu baru berumur 16 tahun mampu menyelamatkan diri dari pralaya, bersama seorang hambanya yang setia, Narottama. Airlangga menjalani kehidupan di hutan lereng gunung dan berkumpul dengan para pertapa dan pendeta. Kehidupan Airlangga dihutan bersama dengan pertapa dan pendeta nampaknya banyak memberikan pelajaran dalam perjalanannya kemudian saat menjadi Raja. Sejak inilah perjuangan Airlangga dimulai. Sebagai jelmaan dewa Wisnu (saksatiranwisnumurtti) Airlangga membangun tahta dari puing-puing kehancuran kerajaannya.
Setelah melewati masa persembunyian dengan kalangan pertapa, Airlangga didatangi oleh utusan para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana) yang menyampaikan permintaan supaya ia menjadi pemimpin di kerajaan yang istananya telah hancur tersebut. Tahun 1019 Airlangga dengan direstui para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana). Dia berhasil naik tahta dengan bergelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikrama Utunggadewa dikukuhkan di Halu (ikanang halu kapratisthan sri maharaja) selanjutnya Airlangga membuat arca perwujudan leluhurnya yang telah dicandikan di Isanabajra (Sang lumah ring Isanabajra), penobatannya dikukuhkan pada sasalanchana abdi vadane (bulan lautan muka = 941 Saka/1019 M).
Periode awal pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan dan penaklukan negara-negara bawahan yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan kerajaan Dharmawangsa Teguh. Pada tahun 943 Saka (1021) Raja Airlangga telah memberi anugerah ‘sima’ kepada penduduk Desa Cane yang masuk wilayah tinghal pinghay, karena mereka terlah berjasa menjadi “benteng” disebelah barat kerajaan, senantiasa memperlihatkan ketulusan hatinya mempersembahkan bakti kepada raja, tiada gentar mempertaruhkan jiwa raganya dalam peperangan, agar sri maharaja memperoleh kemenangan.[2]